Sondag 30 Junie 2013

pencitraan puisi




BAB I
PENDAHULUAN
1.1        Latar Belakang Masalah
Puisi merupakan genre kesusastraan yang dianggap paling sulit, karena bentuk yang lebih padat serta gaya ekspresi yang berlainan dari prosa. Perbedaan antara keduanya dapat dilihat dari kepadatan komposisi dengan konvensi yang ketat. Merupakan hal yang lumrah bila puisi dikatakan sebagai the most condensed and concentrated form of literature (puisi merupakan bentuk sastra yang paling padat dan terkonsentrasi). Sering pula puisi dilihat mempunyai rahasia yang sekaligus menarik. Menarik dibaca dan dikaji untuk mengetahui lebih dalam tentang hal-hal yang tersembunyi didalamnya. Secara konkrit, berusaha memahami puisi merupakan suatu upaya dalam bentuk apresiasi puisi, antara lain yakni kegiatan menikmati, kegiatan memahami, dan kegiatan ekspresi. Ketiga kegiatan tersebut harus dikuasai oleh siswa sebagai bentuk nyata siswa telah mengapresiasi puisi. Namun demikian, hal itu tidaklah mudah. Kesulitan siswa dalam memahami puisi terutama disebabkan sulitnya menganalisis unsur yang terdapat didalamnya, khususnya menganalisis karakteristik puisi bila ditinjau dari piranti gaya bahasa serta unsur lainnya, seperti bunyi, diksi, dan tema.
Penyair menggunakan bahasa sebagai alat berkomunikasi yang khas dalam puisi. Mereka menyatakan sesuatu dengan cara dan gayanya sendiri. Dalam kaitannya dengan penggunaan bahasa secara khas ini, Teeuw (1984: 70-72) mengemukakan bahwa penyair sering memakai bahasa yang aneh, gelap, dan bahkan menyimpang dari pemakaian bahasa yang wajar dalam kehidupan sehari-hari. Bahasa puisi bersifat multidimensional, memiliki daya hidup, keindahan, dan kedalaman makna yang dikandungnya sangat misterius. Itu semua hanya dapat diteropong jika pembaca puisi tidak saja memiliki kompetensi linguistik dan sosial budaya, tetapi juga memiliki kepekaan feeling yang tajam dan terlatih. Tuntutan tersebut tentu akan menjadi kendala tersendiri bagi siswa sebagai pembaca pemula. Dalam keadaan seperti ini, guru yang kreatif tidak akan tinggal diam. Ia akan mencari kiat-kiat khusus yang dapat digunakan untuk membantu siswanya memahami makna puisi. Sebagai salah satu karya sastra, harus diakui kalau puisi memang memiliki posisi yang unik. Ada unsur kebebasan yang mungkin melampaui prosa. Permainan simbolisme yang dihadirkan tidak hanya dengan kata, tetapi juga dengan angka dan bentuk-bentuk lain yang menghadirkan nuansa misteri yang menarik.

1.2    Perumusan Masalah
Berdasarkan uraian pada latar belakang masalah yang telah dijelaskan di atas, maka kami dapat menyimpulkan perumusan beberapa permasalahan yang akan dibahas dalam makalah ini, yaitu:
1.      Apakah penjelasan dari pencitraan puisi dan perilaku puisi?
2.      Bagaimanakah pemahaman dari larik dan pertalian makna yang ada hubungannya dengan puisi?
3.      Apa saja yang dibahas di dalam pengimajinasian yang terdapat pada sebuah puisi?

1.3    Tujuan Penulisan dan Manfaat Penulisan
Dalam penulisan makalah, tentu memiliki tujuan penulisan dan manfaat penulisan. Berikut ini merupakan uraian dari tujuan penulisan dan manfaat penulisan makalah ini.
Tujuan dari penulisan makalah ini adalah sebagai berikut:
*      Untuk mengetahui penjelasan dari pencitraan puisi dan perilaku puisi.
*      Untuk mengetahui pemahaman dari larik dan pertalian makna yang ada hubungannya dengan puisi.
*      Untuk mengetahui pembahasan yang dikemukakan di dalam pengimajinasian yang terdapat pada sebuah puisi.
Manfaat dari penulisan makalah ini adalah sebagai berikut:
*      Untuk menjelaskan peristilahan dari pencitraan puisi dan perilaku puisi.
*      Untuk memahami pendefenisian dari larik dan pertalian makna yang ada   hubungannya dengan puisi.
*      Untuk menerangkan pembahasan yang dikemukakan di dalam pengimajinasian yang terdapat pada sebuah puisi.

1.4        Sistematika Penulisan
Secara garis besar, penulisan dan penyusunan makalah ini, tim penulis  membaginya menjadi tiga (III) bab yang masing-masing bab terdiri atas beberapa sub bab. Maka secara garis besar, perumusan ini dapat dilihat sebagai berikut:
         BAB I      :   PENDAHULUAN
Pada bab ini akan disajikan tentang latar belakang masalah,   perumusan masalah, tujuan penulisan dan manfaat penulisan, serta sistematika penulisan.
         BAB II     :   PEMBAHASAN MASALAH
Pada bab ini akan dikemukakan tentang cakupan puisi dan pencitraan, cakupan perilaku puisi, cakupan larik dan pertalian makna, cakupan pengimajinasian, serta cakupan perlambangan dan kemerduan bunyi sesuai dengan judul yang dipilih.
         BAB III   :   PENUTUP
Pada bab ini akan dimuat tentang kesimpulan dan saran-saran dari hasil pembuatan makalah.












BAB II
PEMBAHASAN MASALAH
2.1        Puisi dan Pencitraan
Puisi dapat didefenisikan sebagai: “Hasil cipta manusia yang terdiri atas satu atau beberapa larik (baris) yang memperlihatkan pertalian makna dan membentuk bait. Keindahan puisi terletak pada persamaan bunyi (rima, sajak, dan irama) (Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, Hoetomo M.A, 2005).

Ketika membaca puisi, kita sering merasakan seolah-olah ikut hanyut dalam suasana yang diciptakan oleh penyair di dalam puisinya. Ketika penyair mengungkapkan peristiwa yang menyedihkan, kita ikut larut dalam suasana kesedihan. Demikian pula halnya jika penyair mengungkapkan perasaan dendam, kecewa, marah, benci, cinta, bahagia, dan lain sebagainya.
Ketika penyair mengungkapkan adanya bunyi gemuruh letusan gunung berapi, kita seolah-olah ikut mendengarkan bunyi itu. Ketika penyair menyebutkan benda yang sangat mungil, kita seolah-olah ikut melihat benda kecil itu. Ketika penyair menceritakan adanya makanan yang pedas, kita seolah-olah ikut merasakan pedasnya makanan itu. Demikian pula halnya ketika penyair mengungkapkan hal yang sangat panas, gatal, atau yang lainnya. Unsur puisi yang menyebabkan kita juga ikut merasakan apa yang dirasakan penyair disebut dengan citraan.
            Citra (image) merupakan gambaran yang dihasilkan oleh kesan mental. Citraan (imagery) adalah bayangan visual yang hadir dikarenakan adanya sesuatu yang menyentuh saklar memori untuk mengaitkannya pada sesuatu yang lain. Sebuah kata, simbol, atau benda tertentu yang merangsang memori dan membayangkan atau memvisualisasikan sesuatu atau peristiwa, termasuk ke dalam kategori pencitraan. Maman S. Mahayana juga menuturkan dalam artikel sastra: “Ketika kata atau simbol tersebut mencitrakan sesuatu, maka memori seketika menghidupkannya sesuai dengan pengalaman masa lalu dan pengenalan pada sesuatu yang pernah kita alami.”

Citraan yakni gambaran angan yang muncul dibenak pembaca puisi. Setiap gambar dalam pikiran disebut dengan citra atau imaji (image). Wujud gambaran dalam angan itu adalah sesuatu yang dapat dilihat, dicium, diraba, dikecap, dan didengar. Akan tetapi, sesuatu yang dapat dilihat, dicium, diraba, dikecap, dan didengarkan itu tidak benar-benar ada, hanya dalam angan-angan pembaca atau pendengar. Penyair kondang Chairil Anwar tampak nyata berusaha memunculkan citraan dalam puisinya yang berjudul Sajak Putih. Terlihat seperti inilah gambaran pencitraan pada puisinya:
Sajak Putih

Bersandar pada tali warna pelangi
Kau depanku bertudung suara senja
Di hitam matamu kembang mawar dan melati
Harum rambutmu mengalun bergelut senda

Sepi menyanyi, malam dalam mendo’a tiba
Meriak muka air kolam jiwa
Dan dalam dadaku memerdu lagu
Menarik menari seluruh aku

Hidup dari hidupku, pintu terbuka
Selama matamu bagiku menengadah
Selama kau darah mengalir dari luka
Antara kita mati datang tidak membelah

Dalam bait pertama, kita jumpai kata-kata: tali warna pelangi, bertudung suara senja, atau di hitam matamu kembang mawar dan melati. Dengan menggunakan kata-kata tersebut, penyair membawa kita seolah-olah berhadapan langsung dan melihat langsung benda-benda tersebut. Angan kita dibawa untuk melihat apa yang dikemukakan oleh penyair. Di hadapan kita seolah terpapar tali warna pelangi, suatu keindahan yang dilengkapi dengan tudung suaranya yang dapat kita lihat dan rasakan dengan jelas. Demikian pula semerbak harum kembang mawar dan melati yang digambarkan dengan di kelopak matamu. Gambaran angan yang ditimbulkan melalui indra penglihatan, seperti tali warna pelangi dan indra penciuman yang ditandai dengan hadirnya kembang mawar dan melati. Hal seperti ini dikenal dengan istilah citra penglihatan dan citra penciuman.
Pada bait kedua, kita jumpai kata-kata: sepi menyanyi, meriak muka air, atau memerdu lagu. Dengan menggunakan kata-kata tersebut, penyair membawa angan kita untuk mendengarkan nyanyian sepi, juga merasakan jiwa yang tiba-tiba bergerak meriak yang diikuti dengan alunan lagu merdu. Gambar angan yang ditimbulkan oleh kata-kata tersebut berkenaan dengan indra pendengaran. Oleh karena itu, gambaran angan tersebut diberi dengan istilah citra pendengaran. Banyak cara yang digunakan oleh penyair dalam membangkitkan daya bayang pembaca puisinya. Ada yang mencoba melalui gerbang mata untuk menghasilkan citra penglihatan, ada yang melalui gerbang telinga untuk menghasilkan citra pendengaran, ataupun melalui gerbang-gerbang indra yang lainnya.
Citraan atau pengimajinasian adalah gambar-gambar dalam pikiran atau gambaran angan si penyair. Setiap gambar pikiran disebut citra atau imaji (image). Gambaran pikiran ini adalah sebuah efek dalam pikiran yang sangat menyerupai gambaran yang dihasilkan oleh penangkapan kita terhadap sebuah objek yang dapat dilihat oleh mata (indra penglihatan).
Mengapa penyair berusaha menghadirkan citra dalam puisinya? Karena penyair adalah sastrawan. Cara sastrawan mengungkapkan gagasan berbeda dengan bukan sastrawan. Seseorang yang bukan sastrawan mengemukakan gagasan dengan bahasa yang lugas dan jelas agar gagasannya itu mudah dipahami pembaca. Seorang sastrawan selain mengungkapkan gagasan juga mengungkapkan perasaan. Sastrawan berharap agar pembaca dapat merasakan apa yang dirasakannya. Untuk keperluan itu, sastrawan sering menggunakan bahasa yang tidak lazim. Salah satu upaya yang tidak lazim adalah pencitraan dalam puisi.
Pencitraan adalah gambaran angan yang bermanfaat dalam pemahaman puisi yang acuan maknanya bersifat indrawi. Citraan memungkinkan kita untuk mencitrakan atau membayangkan kata-kata. Citraan ini sangat bermanfaat dalam menghidupkan puisi.

Beberapa jenis citra yang sering terdapat dalam puisi adalah: 
িী Citra penglihatan (visual imagery);
িী   Citra pendengaran (auditory imagery);
িী   Citra penciuman (olfactory imagery);
িী Citra perabaan (tactile imagery);
িী   Citra pengecapan (gustatory  imagery); dan
িী   Citra gerakan (kinesthetic imagery). 
1.      Citraan penglihatan merupakan citraan yang dihasilkan oleh indra penglihatan (mata). Citraan ini paling sering digunakan oleh penyair. Citraan penglihatan mampu memberikan rangsangan kepada indra penglihatan, sehingga hal-hal yang tidak terlihat menjadi seolah-olah terlihat.
Contoh puisi:
Nanar aku gila sasar
Sayang berulang padamu jua
Engkau pelik menarik ingin
Serupa dara dibalik tirai

(Amir Hamzah, Padamu Jua)

2.   Citraan pendengaran merupakan citraan yang dihasilkan dengan menyebutkan atau menguraikan bunyi suara, misalnya dengan munculnya diksi sunyi, tembang, dendang, dentum, dan lain sebagainya. Citraan pendengaran berhubungan dengan kesan dan gambaran yang diperoleh melalui indra pendengaran (telinga).
      Contoh puisi:
Sepi menyanyi, malam dalam mendo’a tiba
Meriak muka air kolam jiwa
Dan dalam dadaku memerdu lagu
Menarik menari seluruh aku

(Chairil Anwar, Sajak Putih)

3.   Citraan penciuman merupakan citraan yang berhubungan dengan kesan atau gambaran yang dihasilkan oleh indra penciuman. Citraan ini tampak saat kita membaca atau mendengar kata-kata tertentu, seperti mencium sesuatu.
      Contoh puisi:
Dua puluh tiga matahari
Bangkit dari pundakmu
Tubuhmu menguapkan bau tanah

(W.S Rendra, Nyanyian Suto untuk Fatima)

4.   Citraan perabaan merupakan citraan yang dapat dirasakan oleh indra peraba (kulit). Pada saat membacakan atau mendengarkan larik-larik puisi, kita mampu menemukan diksi yang dapat dirasakan kulit, misalnya dingin, panas, lembut, kasar, dan lain sebagainya.
      Contoh puisi:
Kapuk randu, kapuk randu!
Selembut tudung cendawan
Kuncup-kuncup di hatiku
Pada mengembang bermerekahan

(W.S Rendra, Ada Telegram Tiba Senja)

5.   Citraan pengecapan merupakan citraan yang berhubungan dengan kesan atau gambaran yang dihasilkan oleh indra pengecap. Pembaca seolah-olah mencicipi sesuatu yang menimbulkan rasa tertentu, misalnya pahit, manis, asin, pedas, enak, nikmat, dan lain sebagainya.
      Contoh puisi:
Dan kini ia lari karena bini bau melati
Lezat ludahnya air kelapa

(W.S Rendra, Balada Kasan dan Fatima)

6.   Citraan gerak merupakan gambaran tentang sesuatu yang seolah-olah dapat bergerak. Dapat juga diartikan sebagai gambaran gerak pada umumnya.
      Contoh puisi:
Pohon-pohon cemara di kaki gunung
Pohon-pohon cemara
Menyerbu kampung-kampung
Bulan di atasnya
Menceburkan dirinya ke kolam
Membasuh luka-lukanya

(Abdul hadi, Sarangan)

Selain citraan di atas, ada pula ahli sastra yang menambahkan dua jenis citraan lain, yaitu sebagai berikut:
1.   Citraan perasaan
Puisi merupakan ungkapan perasaan penyair. Untuk mengungkapkan perasaannya tersebut, penyair memilih dan menggunakan kata-kata tertentu untuk menggambarkan dan mewakili perasaannya itu, sehingga pembaca puisi dapat ikut hanyut dalam perasaan penyair. Perasaan itu dapat berupa rasa sedih, gembira, haru, marah, cemas, kesepian, dan lain sebagainya.
      Contoh puisi:
Alangkah pilu siutan angin menderai
Mesti berjuang menghabiskan lagu sedih
Kala aku terpeluk dalam lengan-lenganmu
Sebab keinginan saat ini mesti tewas dekat usia

(Toto Sudarto Bachtiar, Wajah)

2.   Citraan intelektual
Citraan intelektual adalah citraan yang dihasilkan dengan asosiasi-asosiasi intelektual.
      Contoh puisi:
Bumi ini perempuan jalang
Yang menarik laki-laki jantan dan pertapa
Ke rawa-rawa mesum ini
Dan membunuhnya pagi hari

(Subagio Sastrowardoyo, Dewa Telah Mati)








2.2    Perilaku Puisi
Di dalam perilaku puisi terdapat ragam-ragam puisi. Ragam puisi tersebut diistilahkan sebagai: “Upaya abadi untuk mengekspresikan jiwa sesuatu, untuk menggerakkan tubuh yang kasar, dan mencari kehidupan serta alasan yang menyebabkannya ada. Oleh karena bukannya irama, melainkan argumen yang membuat irama, yakni ide atau gagasan yang menjelmakan suatu puisi” (Ralp Waldo Emerson).

2.3    Larik dan Pertalian Makna
Untuk memahami puisi, ada beberapa syarat yang perlu diperhatikan, syaratnya antara lain sebagai berikut:
িী Mengubah larik puisi.
িী Pertalian makna pada larik.
িী Unsur larik dan bait.
1.   Mengubah larik puisi
Mengubah leret atau larik-larik puisi dan menambahkan tanda baca, gunanya untuk memudahkan pemahaman. Misalnya, kita ambil sebagian contoh puisi yang berjudul “Priangan si Jelita” yang dikarang oleh Ramadhan K.H berikut ini:
Berbelit jalan
Ke Gunung Kapur
Antara Bandung dan Cianjur

          (Tanah Kelahiran II)

Untuk memahami puisi tersebut, maka bait dari puisi di atas dapat kita ubah menjadi:
Berbelit jalan ke Gunung Kapur/ antara Bandung dan Cianjur

2.   Pertalian makna pada larik
Setiap puisi terdiri dari beberapa larik atau baris. Tiap kelompok atau bait ada yang terdiri atas dua larik, tiga larik, dan tidak tertentu jumlahnya. Beberapa larik yang membentuk kelompok itulah yang disebut bait, untaian, rijm (dalam bahasa Belanda), dan strofe (dalam bahasa Inggris). Kalimat-kalimat yang terdapat dalam satu bait, jika lebih dari satu larik mempunyai pertalian makna. Begitu pula antara bait yang satu dengan yang lain, sehingga seluruhnya bersama-sama dengan judul menunjukkan makna dari puisi tersebut. Pertalian makna sering tidak kelihatan, karena larik-larik itu berupa kalimat tidak lengkap.  
3.   Unsur larik dan bait
Istilah baris atau larik dalam puisi, pada dasarnya sama dengan istilah kalimat dalam karya prosa. Hanya saja, sesuai dengan hak kepengarangan yang diistilahkan dengan licentia poetica, maka wujud, ciri-ciri, dan peranan larik dalam puisi tidak begitu saja disamakan secara menyeluruh dengan kalimat dalam karya prosa. Hal itu dapat dimaklumi, karena bila kalimat dalam karya prosa secara jelas diawali dengan huruf kapital dan diakhiri dengan tanda titik, hal yang demikian tidak selamanya dijumpai dalam puisi. Selain itu, baris dalam puisi juga seringkali mengalami pelesapan, yakni penghilangan salah satu atau beberapa bentuk dalam suatu larik untuk mencapai kepadatan dan keefektifan bahasa.    

2.4    Pengimajinasian
Imajinasi secara umum adalah kekuatan atau proses untuk menghasilkan citra mental dan ide. Istilah ini secara teknis dipakai dalam psikologi sebagai proses membangun kembali persepsi dari suatu benda yang terlebih dahulu diberi persepsi pengertian. Sejak penggunaan istilah ini bertentangan dengan yang dipunyai bahasa biasa, beberapa psikolog lebih menyebut proses ini sebagai menggambarkan, gambaran, atau sebagai suatu reproduksi yang bertentangan dengan imajinasi produktif atau konstruktif.
Gambaran citra dimengerti sebagai sesuatu yang dilihat oleh mata pikiran. Suatu hipotesis untuk evolusi imajinasi manusia ialah bahwa hal itu memperbolehkan setiap makhluk yang sadar untuk memecahkan masalah perseorangan oleh penggunaan stimulasi jiwa. Pengimajinasian adalah kata atau susunan kata yang dapat mengungkapkan pengalaman sensorik penyair, seperti penglihatan, pendengaran, dan perasaan ke dalam kata-kata yang konkrit dan khas. Melalui pengimajinasian, apa yang digambarkan seolah-olah dapat dilihat (imaji visual), didengar (imaji auditif), dan dirasa (imaji taktil). Sedangkan pengimajinasian pancaindra adalah kata-kata yang dapat memperjelas atau memperkonkrit apa yang dinyatakan penulis.
Contoh: “Ia dengar kepak sayap kelelawar dan guyur sisa hujan dari daun karena angin pada kemuning. Ia dengar resah kuda serta langkah pedati.”
Pengimajinasian dalam puisi dapat diartikan sebagai diri penyair untuk menciptakan atau menimbulkan imaji dari para pembacanya. Pembaca pun tergugah untuk menggunakan mata hatinya dalam melihat benda-benda, warna, dan dengan telinga hati dapat mendengarkan bunyi-bunyian, selain itu juga dengan perasaan hati mampu menyentuh kesejukan dan keindahan benda dan warna. Dengan demikian, maka tercipta gambaran yang nyata dari sebuah puisi.
Ada hubungan yang erat antara diksi, pengimajinasian, dan data konkrit. Diksi yang dipilih harus menghasilkan pengimajinasian, dan karena itu kata-kata menjadi lebih konkrit melalui penglihatan, pendengaran, atau citarasa. Oleh karena itu, dalam memilih diksi haruslah melihat dari data konkrit dan membandingkan dengan hal pengimajinasian, agar diksi yang diperoleh menjadi indah ketika dibaca oleh pembaca. 
       
2.5        Perlambangan dan Kemerduan Bunyi
Perlambangan adalah penggunaan kata atau ungkapan kata dalam puisi sedemikian rupa, sehingga timbul makna lambang yang dapat memperkonkrit, memperlengkap, dan memperkhas imaji sesuatu yang diungkapkan dalam puisi.
1.   Irama
Irama merupakan bunyi yang teratur, terpola, dan menimbulkan variasi bunyi. Irama tidak hanya tercipta di dalam puisi dengan pola-pola bunyi yang teratur, namun juga oleh suasana yang tercipta. Irama terdiri atas dua bagian, yakni ritme dan metrum. Ritme adalah irama yang tetap dan terpola menurut pola tertentu, sedangkan metrum adalah irama yang disebabkan oleh pertentangan- pertentangan atau pergantian bunyi tinggi-rendah secara teratur, tetapi tidak merupakan jumlah suku kata yang tetap dan menjadi gema dendang penyair.
2.   Kakafoni dan efoni
Kakafoni dan efoni merupakan pemanfaatan bunyi sedemikian rupa, sehingga bunyi yang dirangkaikan di dalam puisi dapat menimbulkan kesan yang cerah serta sebaliknya, suatu kesan keburaman. Perasaan yang ditimbulkan oleh kesan suasana buram disebut kakafoni, sedangkan perasaan yang ditimbulkan oleh kesan suasana cerah yang kemudian menimbulkan kesan merdu dan enak didengar disebut efoni.
3.   Onomatope
Onomatope merupakan penggunaan kata yang mirip dengan bunyi atau suara yang dihasilkan oleh barang, gerak, atau orang. Istilah lain untuk onomatope adalah tiruan bunyi.
4.   Aliterasi
Aliterasi merupakan pemanfaatan unsur bunyi secara berulang dengan cara pengulangan bunyi konsonan yang sama.
5.   Asonansi
Asonansi merupakan pemanfaatan unsur bunyi secara berulang-ulang dalam satu baris puisi. Sama halnya dengan aliterasi, namun pengulangan disini merupakan pengulangan bunyi-bunyi vokal. Efek yang diharapkan muncul dari pemanfaatan bunyi vokal secara berulang adalah kemerduan bunyi.
6.   Anafora dan epifora
Anafora merupakan pengulangan bunyi dalam bentuk kata yang sama pada awal larik, sedangkan epifora adalah pengulangan bunyi dalam bentuk kata yang sama pada akhir larik-larik saja.  















Description: puisi-bektipatria
 









































BAB III
PENUTUP
Demikianlah makalah ini yang dapat kami selesaikan mengenai materi berjudul “Pencitraan Puisi dalam Pertalian Bunyi dan Makna Puisi” yang menjadi pokok pembahasan atau intisari permasalahannya. Makalah ini kami kerjakan dengan sebaik mungkin, tetapi kami menyadari bahwasanya masih terdapat kekurangan dan kelemahan dari makalah ini.
Kami berharap para pembaca dapat memberikan masukan dan saran yang membangun atau konstruktif untuk kebaikan atau kesempurnaan makalah ini dan berguna untuk masa yang akan datang. Akhirnya di dalam kesempatan ini, kami sampaikan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu sehingga terwujudnya makalah ini.

Atas perhatiannya, kami ucapkan terima kasih.

Wassalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh














3.1        Kesimpulan
Puisi memang sangat berbeda dari genre sastra lainnya. Bila prosa memberikan narasi yang digunakan dengan tujuan menciptakan suatu dunia fiksi   yang serba mungkin secara eksplisit melalui deskripsi peristiwa-peristiwa dalam cerita, hal yang sama juga dapat kita temukan dalam drama melalui narasi gerak yang bersifat teatrikal. Pada puisi, selalu saja dapat kita cermati sehubungan dengan penggunaan aspek-aspek kebahasaan bersifat simbolik yang bersayap, bunyi artikulatif, dan atmosfir melalui pemakaian citra-citra indrawi.
Inilah yang menjadi daya tarik tersendiri untuk menelaah apa yang terkandung dalam sebuah puisi, apa yang ingin disampaikan penyairnya untuk mengartikulasikan pikiran dan perasaannya melalui bahasa yang terkesan simbolik, gaya penulisan, dan nuansa yang direntangkan ke hadapan pembaca. Dengan puisi, seseorang bisa memberikan kritik yang tajam tanpa terkesan mengkritik. Lewat puisi, seseorang bisa menyuarakan pemberontakan tanpa dianggap memberontak. Bahkan, seseorang bisa dituduh sesat hanya karena puisi yang ditulisnya menyerang keyakinan tertentu. Maka, tidak jarang orang akan mengernyitkan dahinya karena melihat keanehan karya yang disebut puisi. Karena memang tidak mudah memahami puisi hanya dari membaca sekali dua kali, apalagi hanya sepintas saja.
Namun, tidak jarang pula ketika kita ingin menelusuri makna yang ada dalam puisi yang sedang dibaca, kita selalu menemukan kesulitan walaupun kita mampu mencari tahu melalui kecenderungan gaya penulisan tertentu yang digunakan penyairnya. Bahasa simbolik dan bersayap yang kita selidiki pun seperti semakin banyak saja tumbuh sayap-sayap baru pengertian sehubungan dengan baris-baris dalam tiap bait sebuah puisi. Sehingga kita terjebak dalam salah satu pemahaman tentang puisi tersebut, baik secara keliru dalam setengah penafsiran maupun pemahaman yang benar-benar jauh dari keseluruhan gambaran yang ada dalam puisi.



3.2        Saran-saran
1.   Agar kita semua sebagai mahasiswa dan mahasiswi FKIP Bahasa dan Sastra Indonesia, dapat mempelajari dan memahami buku yang ada hubungannya mengenai puisi, prosa, dan lain-lain yang bahan bacaannya itu terdapat di toko buku Gramedia ataupun toko buku lainnya.
2.   Agar kita semua sebagai mahasiswa dan mahasiswi FKIP Bahasa dan Sastra Indonesia yang kedepannya akan menjadi guru maupun dosen, dapat lebih mempelajari dan memahami tentang penerapan di dalam puisi, prosa, dan lain-lain.
3.   Agar kita semua sebagai mahasiswa dan mahasiswi FKIP Bahasa dan Sastra Indonesia yang kedepannya akan menjadi guru maupun dosen, dapat memberi contoh berbahasa Indonesia yang baik dan benar sebagai warga dari Negara Kesatuan Republik Indonesia, agar dapat diteladani oleh para peserta didik.

















SUMBER RUJUKAN


1.   www.google.co.id

2.   Bachtiar, Toto Sudarto. 1985. Suara. Jakarta: Penerbit Balai Pustaka.

3.   Waluyo, Herman J. 1991. Teori dan Apresiasi Puisi. Jakarta: Penerbit Erlangga.



Geen opmerkings nie:

Plaas 'n opmerking