BAB
I
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Masalah
Puisi merupakan genre kesusastraan yang dianggap paling
sulit, karena bentuk yang lebih padat serta gaya ekspresi yang berlainan dari prosa.
Perbedaan antara keduanya dapat dilihat dari kepadatan komposisi dengan konvensi
yang ketat. Merupakan hal yang lumrah bila puisi dikatakan sebagai the most
condensed and concentrated form of literature (puisi merupakan bentuk
sastra yang paling padat dan terkonsentrasi). Sering pula puisi dilihat mempunyai
rahasia yang sekaligus menarik. Menarik dibaca dan dikaji untuk mengetahui
lebih dalam tentang hal-hal yang tersembunyi didalamnya. Secara konkrit,
berusaha memahami puisi merupakan suatu upaya dalam bentuk apresiasi puisi,
antara lain yakni kegiatan menikmati, kegiatan memahami, dan kegiatan ekspresi.
Ketiga kegiatan tersebut harus dikuasai oleh siswa sebagai bentuk nyata siswa
telah mengapresiasi puisi. Namun demikian, hal itu tidaklah mudah. Kesulitan
siswa dalam memahami puisi terutama disebabkan sulitnya menganalisis unsur yang
terdapat didalamnya, khususnya menganalisis karakteristik puisi bila ditinjau
dari piranti gaya bahasa serta unsur lainnya, seperti bunyi, diksi, dan
tema.
Penyair menggunakan bahasa sebagai alat berkomunikasi yang khas dalam
puisi. Mereka menyatakan sesuatu dengan cara dan gayanya sendiri. Dalam
kaitannya dengan penggunaan bahasa secara khas ini, Teeuw (1984: 70-72) mengemukakan bahwa penyair sering memakai
bahasa yang aneh, gelap, dan bahkan menyimpang dari pemakaian bahasa yang wajar
dalam kehidupan sehari-hari. Bahasa puisi bersifat multidimensional, memiliki
daya hidup, keindahan, dan kedalaman makna yang dikandungnya sangat misterius.
Itu semua hanya dapat diteropong jika pembaca puisi tidak saja memiliki
kompetensi linguistik dan sosial budaya, tetapi juga memiliki kepekaan feeling
yang tajam dan terlatih. Tuntutan tersebut tentu akan menjadi kendala
tersendiri bagi siswa sebagai pembaca pemula. Dalam keadaan seperti ini, guru
yang kreatif tidak akan tinggal diam. Ia akan mencari kiat-kiat khusus yang
dapat digunakan untuk membantu siswanya memahami makna puisi. Sebagai salah satu karya sastra,
harus diakui kalau puisi memang memiliki posisi yang unik. Ada unsur kebebasan yang mungkin melampaui
prosa. Permainan simbolisme yang dihadirkan tidak hanya dengan kata, tetapi
juga dengan angka dan bentuk-bentuk lain yang menghadirkan nuansa misteri yang menarik.
1.2 Perumusan Masalah
Berdasarkan uraian
pada latar belakang masalah yang telah dijelaskan di atas, maka kami dapat
menyimpulkan perumusan beberapa permasalahan yang akan dibahas dalam makalah
ini, yaitu:
1. Apakah
penjelasan dari pencitraan puisi dan perilaku puisi?
2. Bagaimanakah
pemahaman dari larik dan pertalian makna yang ada hubungannya dengan puisi?
3. Apa saja
yang dibahas di dalam pengimajinasian yang terdapat pada sebuah puisi?
1.3 Tujuan Penulisan dan Manfaat Penulisan
Dalam penulisan
makalah, tentu memiliki tujuan penulisan dan manfaat penulisan. Berikut ini
merupakan uraian dari tujuan penulisan dan manfaat penulisan makalah ini.
Tujuan dari penulisan makalah ini
adalah sebagai berikut:
Untuk mengetahui penjelasan dari pencitraan puisi
dan perilaku puisi.
Untuk mengetahui pemahaman dari larik dan pertalian
makna yang ada hubungannya dengan puisi.
Untuk mengetahui pembahasan yang dikemukakan di
dalam pengimajinasian yang terdapat pada sebuah puisi.
Manfaat dari penulisan makalah
ini adalah sebagai berikut:
Untuk menjelaskan peristilahan dari pencitraan puisi
dan perilaku puisi.
Untuk memahami pendefenisian dari larik dan
pertalian makna yang ada hubungannya
dengan puisi.
Untuk menerangkan pembahasan yang dikemukakan di dalam
pengimajinasian yang terdapat pada sebuah puisi.
1.4
Sistematika
Penulisan
Secara garis besar,
penulisan dan penyusunan makalah ini, tim penulis membaginya menjadi tiga (III) bab yang
masing-masing bab terdiri atas beberapa sub bab. Maka secara garis besar,
perumusan ini dapat dilihat sebagai berikut:
BAB I : PENDAHULUAN
Pada bab ini akan
disajikan tentang latar belakang masalah,
perumusan masalah, tujuan penulisan dan manfaat penulisan, serta
sistematika penulisan.
BAB II :
PEMBAHASAN MASALAH
Pada bab ini akan
dikemukakan tentang cakupan puisi dan pencitraan, cakupan perilaku puisi,
cakupan larik dan pertalian makna, cakupan pengimajinasian, serta cakupan
perlambangan dan kemerduan bunyi sesuai dengan judul yang dipilih.
BAB III : PENUTUP
Pada bab ini akan
dimuat tentang kesimpulan dan saran-saran dari hasil pembuatan makalah.
BAB
II
PEMBAHASAN
MASALAH
2.1
Puisi dan
Pencitraan
Puisi dapat
didefenisikan sebagai: “Hasil cipta manusia yang terdiri atas satu atau
beberapa larik (baris) yang memperlihatkan pertalian makna dan membentuk bait.
Keindahan puisi terletak pada persamaan bunyi (rima, sajak, dan irama)” (Kamus Lengkap Bahasa Indonesia,
Hoetomo M.A, 2005).
Ketika membaca puisi,
kita sering merasakan seolah-olah ikut hanyut dalam suasana yang diciptakan
oleh penyair di dalam puisinya. Ketika penyair mengungkapkan peristiwa yang
menyedihkan, kita ikut larut dalam suasana kesedihan. Demikian pula halnya jika
penyair mengungkapkan perasaan dendam, kecewa, marah, benci, cinta, bahagia,
dan lain sebagainya.
Ketika penyair
mengungkapkan adanya bunyi gemuruh letusan gunung berapi, kita seolah-olah ikut
mendengarkan bunyi itu. Ketika penyair menyebutkan benda yang sangat mungil, kita
seolah-olah ikut melihat benda kecil itu. Ketika penyair menceritakan adanya
makanan yang pedas, kita seolah-olah ikut merasakan pedasnya makanan itu.
Demikian pula halnya ketika penyair mengungkapkan hal yang sangat panas, gatal,
atau yang lainnya. Unsur puisi yang menyebabkan kita juga ikut merasakan apa
yang dirasakan penyair disebut dengan citraan.
Citra (image) merupakan gambaran yang dihasilkan oleh kesan mental. Citraan (imagery) adalah bayangan visual yang hadir dikarenakan adanya sesuatu yang menyentuh saklar memori untuk mengaitkannya pada sesuatu yang lain. Sebuah kata, simbol, atau benda tertentu yang merangsang memori dan membayangkan atau memvisualisasikan sesuatu atau peristiwa, termasuk ke dalam kategori pencitraan. Maman S. Mahayana juga menuturkan dalam artikel sastra: “Ketika kata atau simbol tersebut mencitrakan sesuatu, maka memori seketika menghidupkannya sesuai dengan pengalaman masa lalu dan pengenalan pada sesuatu yang pernah kita alami.”
Citra (image) merupakan gambaran yang dihasilkan oleh kesan mental. Citraan (imagery) adalah bayangan visual yang hadir dikarenakan adanya sesuatu yang menyentuh saklar memori untuk mengaitkannya pada sesuatu yang lain. Sebuah kata, simbol, atau benda tertentu yang merangsang memori dan membayangkan atau memvisualisasikan sesuatu atau peristiwa, termasuk ke dalam kategori pencitraan. Maman S. Mahayana juga menuturkan dalam artikel sastra: “Ketika kata atau simbol tersebut mencitrakan sesuatu, maka memori seketika menghidupkannya sesuai dengan pengalaman masa lalu dan pengenalan pada sesuatu yang pernah kita alami.”
Citraan yakni
gambaran angan yang muncul dibenak pembaca puisi. Setiap gambar dalam pikiran
disebut dengan citra atau imaji (image).
Wujud gambaran dalam angan itu adalah sesuatu yang dapat dilihat, dicium,
diraba, dikecap, dan didengar. Akan tetapi, sesuatu yang dapat dilihat, dicium,
diraba, dikecap, dan didengarkan itu tidak benar-benar ada, hanya dalam
angan-angan pembaca atau pendengar. Penyair kondang Chairil Anwar tampak nyata
berusaha memunculkan citraan dalam puisinya yang berjudul Sajak Putih. Terlihat
seperti inilah gambaran pencitraan pada puisinya:
Sajak
Putih
Bersandar
pada tali warna pelangi
Kau
depanku bertudung suara senja
Di hitam
matamu kembang mawar dan melati
Harum rambutmu mengalun bergelut senda
Sepi menyanyi, malam dalam mendo’a tiba
Meriak muka air kolam jiwa
Dan dalam dadaku memerdu lagu
Menarik menari seluruh aku
Hidup dari hidupku, pintu terbuka
Selama matamu bagiku menengadah
Selama kau darah mengalir dari luka
Antara kita mati datang tidak membelah
Harum rambutmu mengalun bergelut senda
Sepi menyanyi, malam dalam mendo’a tiba
Meriak muka air kolam jiwa
Dan dalam dadaku memerdu lagu
Menarik menari seluruh aku
Hidup dari hidupku, pintu terbuka
Selama matamu bagiku menengadah
Selama kau darah mengalir dari luka
Antara kita mati datang tidak membelah
Dalam bait pertama,
kita jumpai kata-kata: tali warna pelangi, bertudung suara senja, atau di hitam
matamu kembang mawar dan melati. Dengan menggunakan kata-kata tersebut, penyair
membawa kita seolah-olah berhadapan langsung dan melihat langsung benda-benda
tersebut. Angan kita dibawa untuk melihat apa yang dikemukakan oleh penyair. Di
hadapan kita seolah terpapar tali warna pelangi, suatu keindahan yang dilengkapi
dengan tudung suaranya yang dapat kita lihat dan rasakan dengan jelas. Demikian
pula semerbak harum kembang mawar dan melati yang digambarkan dengan di kelopak
matamu. Gambaran angan yang ditimbulkan melalui indra penglihatan, seperti tali
warna pelangi dan indra penciuman yang ditandai dengan hadirnya kembang mawar dan
melati. Hal seperti ini dikenal dengan istilah citra penglihatan dan citra
penciuman.
Pada bait kedua, kita
jumpai kata-kata: sepi menyanyi, meriak muka air, atau memerdu lagu. Dengan
menggunakan kata-kata tersebut, penyair membawa angan kita untuk mendengarkan
nyanyian sepi, juga merasakan jiwa yang tiba-tiba bergerak meriak yang diikuti
dengan alunan lagu merdu. Gambar angan yang ditimbulkan oleh kata-kata tersebut
berkenaan dengan indra pendengaran. Oleh karena itu, gambaran angan tersebut
diberi dengan istilah citra pendengaran. Banyak cara yang digunakan oleh
penyair dalam membangkitkan daya bayang pembaca puisinya. Ada yang mencoba melalui
gerbang mata untuk menghasilkan citra penglihatan, ada yang melalui gerbang
telinga untuk menghasilkan citra pendengaran, ataupun melalui gerbang-gerbang
indra yang lainnya.
Citraan atau
pengimajinasian adalah gambar-gambar dalam pikiran atau gambaran angan si
penyair. Setiap gambar pikiran disebut citra atau imaji (image). Gambaran pikiran ini adalah sebuah efek dalam pikiran yang
sangat menyerupai gambaran yang dihasilkan oleh penangkapan kita terhadap
sebuah objek yang dapat dilihat oleh mata (indra penglihatan).
Mengapa penyair
berusaha menghadirkan citra dalam puisinya? Karena penyair adalah sastrawan.
Cara sastrawan mengungkapkan gagasan berbeda dengan bukan sastrawan. Seseorang
yang bukan sastrawan mengemukakan gagasan dengan bahasa yang lugas dan jelas
agar gagasannya itu mudah dipahami pembaca. Seorang sastrawan selain
mengungkapkan gagasan juga mengungkapkan perasaan. Sastrawan berharap agar
pembaca dapat merasakan apa yang dirasakannya. Untuk keperluan itu, sastrawan
sering menggunakan bahasa yang tidak lazim. Salah satu upaya yang tidak lazim
adalah pencitraan dalam puisi.
Pencitraan adalah
gambaran angan yang bermanfaat dalam pemahaman puisi yang acuan maknanya
bersifat indrawi. Citraan memungkinkan kita untuk mencitrakan atau membayangkan
kata-kata. Citraan ini sangat bermanfaat dalam menghidupkan puisi.
Beberapa jenis citra yang sering terdapat
dalam puisi adalah:
িী Citra penglihatan (visual imagery);
িী Citra pendengaran (auditory imagery);
িী Citra penciuman (olfactory
imagery);
িী Citra perabaan (tactile
imagery);
িী Citra pengecapan (gustatory imagery); dan
িী Citra gerakan (kinesthetic
imagery).
1. Citraan
penglihatan merupakan citraan yang dihasilkan oleh indra penglihatan (mata). Citraan
ini paling sering digunakan oleh penyair. Citraan penglihatan mampu memberikan
rangsangan kepada indra penglihatan, sehingga hal-hal yang tidak terlihat
menjadi seolah-olah terlihat.
Contoh puisi:
Contoh puisi:
Nanar
aku gila sasar
Sayang
berulang padamu jua
Engkau
pelik menarik ingin
Serupa dara dibalik tirai
(Amir
Hamzah, Padamu Jua)
2. Citraan pendengaran merupakan citraan yang dihasilkan
dengan menyebutkan atau menguraikan bunyi suara, misalnya dengan munculnya
diksi sunyi, tembang, dendang,
dentum, dan lain sebagainya. Citraan pendengaran berhubungan
dengan kesan dan gambaran yang diperoleh melalui indra pendengaran (telinga).
Contoh puisi:
Sepi menyanyi, malam dalam mendo’a tiba
Meriak
muka air kolam jiwa
Dan
dalam dadaku memerdu lagu
Menarik
menari seluruh aku
(Chairil
Anwar, Sajak Putih)
3. Citraan penciuman merupakan citraan yang
berhubungan dengan kesan atau gambaran yang dihasilkan oleh indra penciuman.
Citraan ini tampak saat kita membaca atau mendengar kata-kata tertentu, seperti
mencium sesuatu.
Contoh puisi:
Dua
puluh tiga matahari
Bangkit
dari pundakmu
Tubuhmu
menguapkan bau tanah
(W.S
Rendra, Nyanyian Suto untuk Fatima)
4. Citraan perabaan merupakan citraan yang dapat
dirasakan oleh indra peraba (kulit). Pada saat membacakan atau mendengarkan
larik-larik puisi, kita mampu menemukan diksi yang dapat dirasakan kulit,
misalnya dingin, panas, lembut, kasar, dan lain sebagainya.
Contoh puisi:
Kapuk
randu, kapuk randu!
Selembut tudung cendawan
Kuncup-kuncup
di hatiku
Pada
mengembang bermerekahan
(W.S
Rendra, Ada
Telegram Tiba Senja)
5. Citraan pengecapan merupakan citraan yang
berhubungan dengan kesan atau gambaran yang dihasilkan oleh indra pengecap.
Pembaca seolah-olah mencicipi sesuatu yang menimbulkan rasa tertentu, misalnya
pahit, manis, asin, pedas, enak, nikmat, dan lain sebagainya.
Contoh puisi:
Dan
kini ia lari karena bini bau melati
Lezat ludahnya air kelapa
(W.S
Rendra, Balada Kasan dan Fatima)
6. Citraan
gerak merupakan gambaran tentang sesuatu yang seolah-olah dapat bergerak. Dapat
juga diartikan sebagai gambaran gerak pada umumnya.
Contoh
puisi:
Pohon-pohon
cemara di kaki gunung
Pohon-pohon
cemara
Menyerbu kampung-kampung
Bulan
di atasnya
Menceburkan dirinya ke kolam
Membasuh luka-lukanya
(Abdul
hadi, Sarangan)
Selain citraan di atas, ada pula
ahli sastra yang menambahkan dua jenis citraan lain, yaitu sebagai berikut:
1. Citraan perasaan
Puisi merupakan ungkapan perasaan penyair. Untuk mengungkapkan
perasaannya tersebut, penyair memilih dan menggunakan kata-kata tertentu untuk
menggambarkan dan mewakili perasaannya itu, sehingga pembaca puisi dapat ikut
hanyut dalam perasaan penyair. Perasaan itu dapat berupa rasa sedih, gembira,
haru, marah, cemas, kesepian, dan lain sebagainya.
Contoh
puisi:
Alangkah
pilu siutan angin menderai
Mesti
berjuang menghabiskan lagu sedih
Kala
aku terpeluk dalam lengan-lenganmu
Sebab
keinginan saat ini mesti tewas dekat usia
(Toto
Sudarto Bachtiar, Wajah)
2. Citraan intelektual
Citraan intelektual
adalah citraan yang dihasilkan dengan asosiasi-asosiasi intelektual.
Contoh puisi:
Bumi ini perempuan jalang
Yang
menarik laki-laki jantan dan pertapa
Ke
rawa-rawa mesum ini
Dan
membunuhnya pagi hari
(Subagio
Sastrowardoyo, Dewa Telah Mati)
2.2 Perilaku Puisi
Di dalam perilaku
puisi terdapat ragam-ragam puisi. Ragam puisi tersebut diistilahkan sebagai: “Upaya
abadi untuk mengekspresikan jiwa sesuatu, untuk menggerakkan tubuh yang kasar,
dan mencari kehidupan serta alasan yang menyebabkannya ada. Oleh
karena bukannya irama, melainkan argumen yang membuat irama, yakni ide atau
gagasan yang menjelmakan suatu puisi” (Ralp Waldo Emerson).
2.3 Larik dan Pertalian Makna
Untuk memahami puisi, ada
beberapa syarat yang perlu diperhatikan, syaratnya antara lain sebagai berikut:
িী Mengubah larik puisi.
িী Pertalian makna pada larik.
িী Unsur larik dan bait.
1. Mengubah larik puisi
Mengubah leret atau
larik-larik puisi dan menambahkan tanda baca, gunanya untuk memudahkan
pemahaman. Misalnya, kita ambil sebagian contoh puisi yang berjudul “Priangan
si Jelita” yang dikarang oleh Ramadhan K.H berikut ini:
Berbelit
jalan
Ke
Gunung Kapur
Antara
Bandung dan Cianjur
(Tanah Kelahiran II)
Untuk memahami puisi tersebut,
maka bait dari puisi di atas dapat kita ubah menjadi:
“Berbelit jalan ke Gunung Kapur/ antara Bandung dan Cianjur”
2. Pertalian makna pada larik
Setiap puisi terdiri
dari beberapa larik atau baris. Tiap kelompok atau bait ada yang terdiri atas
dua larik, tiga larik, dan tidak tertentu jumlahnya. Beberapa larik yang
membentuk kelompok itulah yang disebut bait, untaian, rijm (dalam bahasa Belanda), dan strofe (dalam bahasa Inggris). Kalimat-kalimat yang terdapat dalam
satu bait, jika lebih dari satu larik mempunyai pertalian makna. Begitu pula
antara bait yang satu dengan yang lain, sehingga seluruhnya bersama-sama dengan
judul menunjukkan makna dari puisi tersebut. Pertalian makna sering tidak
kelihatan, karena larik-larik itu berupa kalimat tidak lengkap.
3. Unsur larik dan bait
Istilah baris atau
larik dalam puisi, pada dasarnya sama dengan istilah kalimat dalam karya prosa.
Hanya saja, sesuai dengan hak kepengarangan yang diistilahkan dengan licentia poetica, maka wujud, ciri-ciri,
dan peranan larik dalam puisi tidak begitu saja disamakan secara menyeluruh
dengan kalimat dalam karya prosa. Hal itu dapat dimaklumi, karena bila kalimat
dalam karya prosa secara jelas diawali dengan huruf kapital dan diakhiri dengan
tanda titik, hal yang demikian tidak selamanya dijumpai dalam puisi. Selain
itu, baris dalam puisi juga seringkali mengalami pelesapan, yakni penghilangan
salah satu atau beberapa bentuk dalam suatu larik untuk mencapai kepadatan dan
keefektifan bahasa.
2.4 Pengimajinasian
Imajinasi secara umum
adalah kekuatan atau proses untuk menghasilkan citra mental dan ide. Istilah
ini secara teknis dipakai dalam psikologi sebagai proses membangun kembali
persepsi dari suatu benda yang terlebih dahulu diberi persepsi pengertian.
Sejak penggunaan istilah ini bertentangan dengan yang dipunyai bahasa biasa,
beberapa psikolog lebih menyebut proses ini sebagai menggambarkan, gambaran,
atau sebagai suatu reproduksi yang bertentangan dengan imajinasi produktif atau
konstruktif.
Gambaran citra
dimengerti sebagai sesuatu yang dilihat oleh mata pikiran. Suatu hipotesis
untuk evolusi imajinasi manusia ialah bahwa hal itu memperbolehkan setiap
makhluk yang sadar untuk memecahkan masalah perseorangan oleh penggunaan
stimulasi jiwa. Pengimajinasian adalah kata atau susunan kata yang dapat
mengungkapkan pengalaman sensorik penyair, seperti penglihatan, pendengaran,
dan perasaan ke dalam kata-kata yang konkrit dan khas. Melalui pengimajinasian,
apa yang digambarkan seolah-olah dapat dilihat (imaji visual), didengar (imaji
auditif), dan dirasa (imaji taktil). Sedangkan pengimajinasian pancaindra
adalah kata-kata yang dapat memperjelas atau memperkonkrit apa yang dinyatakan
penulis.
Contoh: “Ia dengar kepak sayap
kelelawar dan guyur sisa hujan dari daun karena angin pada kemuning. Ia dengar
resah kuda serta langkah pedati.”
Pengimajinasian dalam
puisi dapat diartikan sebagai diri penyair untuk menciptakan atau menimbulkan
imaji dari para pembacanya. Pembaca pun tergugah untuk menggunakan mata hatinya
dalam melihat benda-benda, warna, dan dengan telinga hati dapat mendengarkan
bunyi-bunyian, selain itu juga dengan perasaan hati mampu menyentuh kesejukan
dan keindahan benda dan warna. Dengan demikian, maka tercipta gambaran yang
nyata dari sebuah puisi.
Ada hubungan yang erat antara diksi,
pengimajinasian, dan data konkrit. Diksi yang dipilih harus menghasilkan
pengimajinasian, dan karena itu kata-kata menjadi lebih konkrit melalui penglihatan,
pendengaran, atau citarasa. Oleh karena itu, dalam memilih diksi haruslah
melihat dari data konkrit dan membandingkan dengan hal pengimajinasian, agar
diksi yang diperoleh menjadi indah ketika dibaca oleh pembaca.
2.5
Perlambangan dan
Kemerduan Bunyi
Perlambangan adalah penggunaan
kata atau ungkapan kata dalam puisi sedemikian rupa, sehingga timbul makna
lambang yang dapat memperkonkrit, memperlengkap, dan memperkhas imaji sesuatu
yang diungkapkan dalam puisi.
1. Irama
Irama merupakan bunyi
yang teratur, terpola, dan menimbulkan variasi bunyi. Irama tidak hanya
tercipta di dalam puisi dengan pola-pola bunyi yang teratur, namun juga oleh
suasana yang tercipta. Irama terdiri atas dua bagian, yakni ritme dan metrum.
Ritme adalah irama yang tetap dan terpola menurut pola tertentu, sedangkan metrum
adalah irama yang disebabkan oleh pertentangan- pertentangan atau pergantian
bunyi tinggi-rendah secara teratur, tetapi tidak merupakan jumlah suku kata
yang tetap dan menjadi gema dendang penyair.
2. Kakafoni dan efoni
Kakafoni dan efoni
merupakan pemanfaatan bunyi sedemikian rupa, sehingga bunyi yang dirangkaikan
di dalam puisi dapat menimbulkan kesan yang cerah serta sebaliknya, suatu kesan
keburaman. Perasaan yang ditimbulkan oleh kesan suasana buram disebut kakafoni,
sedangkan perasaan yang ditimbulkan oleh kesan suasana cerah yang kemudian
menimbulkan kesan merdu dan enak didengar disebut efoni.
3.
Onomatope
Onomatope merupakan
penggunaan kata yang mirip dengan bunyi atau suara yang dihasilkan oleh barang,
gerak, atau orang. Istilah lain untuk onomatope adalah tiruan bunyi.
4.
Aliterasi
Aliterasi merupakan
pemanfaatan unsur bunyi secara berulang dengan cara pengulangan bunyi konsonan
yang sama.
5.
Asonansi
Asonansi merupakan
pemanfaatan unsur bunyi secara berulang-ulang dalam satu baris puisi. Sama
halnya dengan aliterasi, namun pengulangan disini merupakan pengulangan bunyi-bunyi
vokal. Efek yang diharapkan muncul dari pemanfaatan bunyi vokal secara berulang
adalah kemerduan bunyi.
6.
Anafora dan epifora
Anafora merupakan
pengulangan bunyi dalam bentuk kata yang sama pada awal larik, sedangkan epifora
adalah pengulangan bunyi dalam bentuk kata yang sama pada akhir larik-larik
saja.
BAB
III
PENUTUP
Demikianlah makalah
ini yang dapat kami selesaikan mengenai materi berjudul “Pencitraan Puisi dalam
Pertalian Bunyi dan Makna Puisi” yang menjadi pokok pembahasan atau intisari
permasalahannya. Makalah ini kami kerjakan dengan sebaik mungkin, tetapi kami
menyadari bahwasanya masih terdapat kekurangan dan kelemahan dari makalah ini.
Kami berharap para
pembaca dapat memberikan masukan dan saran yang membangun atau konstruktif untuk
kebaikan atau kesempurnaan makalah ini dan berguna untuk masa yang akan datang.
Akhirnya di dalam kesempatan ini, kami sampaikan terima kasih kepada semua
pihak yang telah membantu sehingga terwujudnya makalah ini.
Atas perhatiannya, kami ucapkan
terima kasih.
Wassalamu’alaikum
Warahmatullahi Wabarakatuh
3.1
Kesimpulan
Puisi memang sangat
berbeda dari genre sastra lainnya.
Bila prosa memberikan narasi yang digunakan dengan tujuan menciptakan suatu
dunia fiksi “yang serba mungkin” secara eksplisit melalui deskripsi
peristiwa-peristiwa dalam cerita, hal yang sama juga dapat kita temukan dalam
drama melalui narasi gerak yang bersifat teatrikal. Pada puisi, selalu saja
dapat kita cermati sehubungan dengan penggunaan aspek-aspek kebahasaan bersifat
simbolik yang bersayap, bunyi artikulatif, dan atmosfir melalui pemakaian citra-citra
indrawi.
Inilah yang menjadi
daya tarik tersendiri untuk menelaah apa yang terkandung dalam sebuah puisi,
apa yang ingin disampaikan penyairnya untuk mengartikulasikan pikiran dan
perasaannya melalui bahasa yang terkesan simbolik, gaya penulisan, dan nuansa yang direntangkan
ke hadapan pembaca. Dengan puisi, seseorang bisa memberikan kritik yang tajam
tanpa terkesan mengkritik. Lewat puisi, seseorang bisa menyuarakan
pemberontakan tanpa dianggap memberontak. Bahkan, seseorang bisa dituduh sesat hanya
karena puisi yang ditulisnya menyerang keyakinan tertentu. Maka, tidak jarang
orang akan mengernyitkan dahinya karena melihat keanehan karya yang disebut puisi.
Karena memang tidak mudah memahami puisi hanya dari membaca sekali dua kali,
apalagi hanya sepintas saja.
Namun, tidak jarang
pula ketika kita ingin menelusuri makna yang ada dalam puisi yang sedang dibaca,
kita selalu menemukan kesulitan walaupun kita mampu mencari tahu melalui
kecenderungan gaya
penulisan tertentu yang digunakan penyairnya. Bahasa simbolik dan bersayap yang
kita selidiki pun seperti semakin banyak saja tumbuh sayap-sayap baru
pengertian sehubungan dengan baris-baris dalam tiap bait sebuah puisi. Sehingga
kita terjebak dalam salah satu pemahaman tentang puisi tersebut, baik secara keliru
dalam setengah penafsiran maupun pemahaman yang benar-benar jauh dari
keseluruhan gambaran yang ada dalam puisi.
3.2
Saran-saran
1. Agar kita semua sebagai mahasiswa dan mahasiswi
FKIP Bahasa dan Sastra Indonesia, dapat mempelajari dan memahami buku yang ada
hubungannya mengenai puisi, prosa, dan lain-lain yang bahan bacaannya itu
terdapat di toko buku Gramedia ataupun toko buku lainnya.
2. Agar kita semua sebagai mahasiswa dan mahasiswi FKIP Bahasa dan
Sastra Indonesia yang kedepannya akan menjadi guru maupun dosen, dapat lebih
mempelajari dan memahami tentang penerapan di dalam puisi, prosa, dan lain-lain.
3. Agar kita semua sebagai mahasiswa dan mahasiswi
FKIP Bahasa dan Sastra Indonesia yang kedepannya akan menjadi guru maupun
dosen, dapat memberi contoh berbahasa Indonesia yang baik dan benar sebagai
warga dari Negara Kesatuan Republik Indonesia, agar dapat diteladani oleh para
peserta didik.
SUMBER
RUJUKAN
1. www.google.co.id
2. Bachtiar, Toto Sudarto. 1985. Suara. Jakarta: Penerbit Balai Pustaka.
3. Waluyo, Herman J. 1991. Teori dan Apresiasi Puisi. Jakarta: Penerbit Erlangga.
Geen opmerkings nie:
Plaas 'n opmerking