BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar
Belakang dan Masalah
1.1.1 Latar Belakang
Bahasa-bahasa daerah di
Indonesia mempunyai pengaruh dalam pembentukan dan pengembangan bahasa
Indonesia. Sebelum mengenal bahasa Indonesia sebagian besar bangsa Indonesia menggunakan
bahasa daerah mereka masing-masing. Bahasa daerah tetap dipelihara oleh negara sebagai bagian kebudayaan yang
hidup.
Pada umumnya masyarakat menganggap bahasa Indonesia
mudah karena setiap hari mereka mendengar orang menggunakannya dan setiap hari
pula mereka membaca karangan-karangan dalam surat kabar, majalah, buku dan yang
tertulis dalam bahasa Indonesia. Jadi, telinga mereka telah terbiasa
mendengarnya dan mata mereka sudah kerap melihatnya dalam bentuk tulisan. Oleh
karena itulah, kebanyakan diantara mereka mengganggap bahwa bahasa Indonesia
itu mudah.
Bahasa identitas bangsa. Selain itu, bahasa sebagai
media komunikasi antara satu orang dengan orang lain atau satu kelompok dengan
kelompok yang lain. Hal ini, sejalan dengan pendapat Gorys
Keraf yang menyatakan bahasa terbagi atas dua pengertian “Pengertian pertama
menyatakan, bahasa sebagai alat komunikasi antara anggota masyarakat berupa
simbol bunyi yang dihasilkan oleh alat ucap manusia. Pengertian kedua bahasa
adalah sistem komunikasi yang mempergunakan simbol-simbol vokal (bunyi ujaran)
yang bersifat arbirter” (Keraf, 2005:1).
Dalam kedudukannya sebagai bahasa nasional, bahasa
Indonesia tidak luput dari pengaruh bahasa lain di antaranya bahasa daerah.
Bangsa Indonesia yang kaya akan bahasa daerah ikut memberikan kontribusi
terhadap bahasa Indonesia di antaranya dalam hal kosa kata dan dialek. Penutur
bahasa yang berbagai macam latar belakangpun ikut memberikan pengaruh dalam hal
dialek.
Pengaruh bahasa daerah terhadap bahasa Indonesia bukan
hanya pada masyarakat awam bahkan sampai pada kalangan akademisi, oleh sebab
itu penulis tertarik untuk mengkaji pengaruh
bahasa Minang terhadap bahasa Indonesia karena bahasa
daerah (Minang) turut memengaruhi Bahasa Indonesia baik dalam hal kosa kata
maupun dialek.
1.1.2
Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang
telah penulis jelaskan maka dapat dirumuskan masalah karya ilmiah ini sebagai
berikut:
1.1.2.1 Bagaiman kedudukan dan fungsi bahasa Indonesia?
1.1.2.2 Apa
saja ragam bahasa Minang?
1.1.2.3 Apa
pengaruh bahasa Minang terhadap bahasa Indonesia?
1.1.2.4 Analisis konstratif
kosakata bahasa Indonesia dan bahasa Minang
1.2 Tujuan Penelitian
Adapun tujuan dari penulisan karya
ilmiah ini ialah:
1.2.1 Untuk
mengetahui kedudukan dan fungsi bahasa Indonesia
1.2.2 Untuk
mengetahui ragam bahasa Minang
1.2.3 Untuk
mengetahui apa pengaruh bahasa Minang terhadap bahasa Indonesia.
1.2.4 Untuk
mengetahui analisis konstratif bahasa Minang terhadap bahasa Indonesia
1.3 Manfaat
Adapun manfaat teoretisnya bahasa
Minang harus tetap dipertahankan dan dipelihara, karena bahasa Minang adalah
termasuk budaya Indonesia yang harus tetap dibina dan dilestarikan. Sedangkan
manfaat praktisnya bahasa Minang juga mampu mendukung perkembangan bahasa
Indonesia, yaitu dalam bentuk penyerapan kosakata dari bahasa Minang tersebut.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Kedudukan dan Fungsi Bahasa
Indonesia
Istilah
kedudukan dan fungsi tentunya sering kita dengar, bahkan pernah
kita pakai. Kita tahu bahwa bahasa sebagai alat komunikasi lingual manusia,
baik secara terlisan maupun tertulis. Ini adalah fungsi dasar bahasa yang tidak
dihubungkan dengan status dan nilai-nilai sosial. Setelah dihubungkan dengan
kehidupan sehari-hari, yang di dalamnya selalu ada nilai-nilai dan status,
bahasa tidak dapat ditinggalkan. Ia selalu mengikuti kehidupan manusia
sehari-hari, baik sebagai manusia anggota suku maupun anggota bangsa.
Di
pihak lain, bagi masyarakat yang bilingual, akan dapat ‘memilah-milahkan’ sikap
dan pemakaian kedua atau lebih bahasa yang digunakannya. Mereka tidak akan
memakai secara sembarangan. Mereka bisa mengetahui kapan dan dalam situasi
apa bahasa yang satu dipakai. Dengan demikian perkembangan bahasa itu akan
menjadi terarah. Pemakainya akan berusaha mempertahankan kedudukan dan fungsi
bahasa yang telah disepakatinya dengan menyeleksi unsur-unsur bahasa lain yang
‘masuk’ ke dalamnya. Unsur-unsur yang dianggap menguntungkannya akan diterima,
sedangkan unsur-unsur yang dianggap merugikannya akan ditolak.
Chaer
(2007:32) Setiap bahasa pasti memiliki ciri dan sifat tertentu. Namun, secara
umum bahasa memiliki ciri atau sifat berikut: (1) bahasa adalah sebuah sistem,
(2) bahasa itu berwujud lambang, (3) bahasa itu berupa bunyi, (4) bahasa
bersifat arbirter, (5) bahasa itu bermakna, (6) bahasa itu bersifat
konfensional, (7) bahasa itu bersifat unik, (8) bahasa itu bersifat universal,
(9) bahasa itu bersifat produktif, (10) bahasa itu bervariasi, (11) bahasa itu
bersifat dinamis, (12) bahasa itu berfungsi sebagai alat interaksi sosial, dan (13)
bahasa itu merupakan identitas penuturnya.
Kedudukan bahasa Indonesia terbagi menjadi dua, yaitu:
(1) kedudukan bahasa Indonesia sebagai bahasa Nasional, dan (2) kedudukan dan
fungsi bahasa Indonesia sebagai bahasa negara atau resmi. Muslich (2010:4)
Kedudukan bahasa Indonesia sebagai bahasa Nasional,
bahasa Indonesia berfungsi sebagai: (1) sebagai lambang kebanggan Nasional, (2)
lambang identitas Nasional, (3) alat pemersatu masyarakat yang berbeda-beda
latar belakang sosial, budaya, dan bahasanya, dan (4) alat perhubungan
antarbudaya antardaerah.
Kedudukan dan fungsi bahasa Indonesia sebagai bahasa
negara atau resmi berfungsi sebagai; (1) bahasa resmi kenegaraan, (2) bahasa
pengantar resmi di lembaga-lembaga pendidikan, (3) bahasa resmi di dalam
perhubungan pada tingkat nasional untuk kepentingan perencanaan dan pelaksanaan
pembangunan serta pemerintah, dan (4) bahasa resmi di dalam pengembangan kebudayaan
dan pemanfaatan ilmu pengetahuan secara teknologi modern.
2.2 Ragam Bahasa Minang
Bahasa Minang memiliki empat ragam bahasa yang memengaruhi
dan sangat bergantung pada situasi dan kondisi pada saat bahasa tersebut akan
dipergunakan. Keempat ragam bahasa tersebut adalah:
2.2.1 Ragam Bahasa Adat
Ragam bahasa adat, biasanya banyak dipergunakan dalam
kegiatan-kegiatan adat. Dalam ragam ini mengandung, petatah petitih, pantun
adat, mamangan dan bentuk-bentuk bahasa kias lainnya. Ragam bahasa ini tertuang
dalam pidato adat pasambahan, para penghulu, ninik mamak, serta tokoh-tokoh
adat lainnya.
Contoh: “…di awal kato nan sapatah, menjadi ujuik
jo makasuik, nan sarapak papeknyolah. Beliau nan hadir di ateh rumah nanko.
Indak dibilang ka diator, hanyo pambilang ka paatok, pambilang pamuliakan
sambah…”
2.2.2 Ragam
Bahasa Surau
Ragam bahasa Surau, merupakan suatu bentuk bahasa yang
banyak dipergunakan oleh para ulama. Ragam ini dapat ditemui dalam setiap
aktivitas keagamaan di surau. Perbedaannya dengan ragam bahasa adat, ragam
bahasa surau ini banyak mengandung ajaran-ajaran agama, dan juga banyak
dipengaruhi unsur-unsur serapan dalam bahasa arab.
Contoh: “…sesuatu barang, nan kito tamui secaro
indak sengajo, itu hukumnyo dalam islam adalah subhat. Artinyo labiah dakek
kepado haram dari halalnyo. Andaikato suatu saat kito menemukan urang nan punyo
barang tersebut, heloklah kito batarus terang kepadonyo, mintak ke ridhoan
urang tasabut, Isnya Allah, Tuhan akan mengampuni doso kito…”
2.2.3 Ragam
Bahasa Parewa
Ragam bahasa ini dipergunakan oleh
kaum muda (parewa), dalam berkomunikasi antar sesama. Ragam bahasa ini memiliki
ciri-ciri, antara lain: bahasanya sedikit kotor, kasar, dan tak jarang juga
muncul bahasa-bahasa sindiran.
Contoh: “…apo nan ang baok tu?” “tep oto, sia
kiro-kiro nan namuah mambalinyo, yo?”“tep oto sia nan ang cilok tu, angku lai,
ndak tapikia sansai urang tuo manggadangkan ang!”
2.2.4 Ragam
Bahasa Biasa
Ragam bahasa biasa atau juga bisa disebut sebagai
bahasa Minang umum. Dikatakan biasa karena, ragam ini biasa dipergunakan oleh
masyarakat Minang dalam bertutur atau berkomunikasi. Ciri khas dari ragam ini,
yakni tidak kentaranya dialek yang dipergunakan oleh si penutur bahasa Minang.
Arti yang lebih implisit dari kondisi ini adalah ragam inilah yang sering
dipergunakan oleh orang Minang (dari berbagai daerah) dalam bekomunikasi antar
sesama orang Minang, walau pada prinsipnya mereka berbeda daerah dan dialek.
Contoh: “ka pai kama angku kini?” “ambo ka pai ka
rumah buya, ado paralu jo buya.” “apo makasuik ka rumah buya, tuh”“indak ado,
doh, cuman ambo dulu pernah banazar, kini ambo ka mambayianyo” konotasi bahasa
bur dilarang diucapkan untuk kondisi ini, karena jika aturan itu dilanggar
dipercaya akan ada balasan yang setimpal bagi yang mengatakannya, saat itu
juga.
Demikianlah
ragam dan konotasi bahasa yang terdapat dalam bahasa Minangkabau. Saat ini,
sesuai dengan perubahan zaman, bahasa Minangkabau berkembang ke arah yang tidak
lagi memandang aturan adat tradisi. Oleh karena itu, masalah ini sudah
sepatutnya mendapat perhatian yang lebih serius, mengingat perkembangan
generasi muda Minang saat ini telah jauh dari norma-norma budaya Minangkabau
tersebut. Bahasa adalah cermin sebuah bangsa, baik dan buruknya.
2.3 Pengaruh Bahasa Daerah (Minang) Terhadap
Bahasa Indonesia
Bahasa Indonesia adalah bahasa resmi Republik
Indonesia merupakan alat pemersatu Bangsa Indonesia. Sedangkan bahasa daerah
adalah suatu bahasa yang dituturkan di suatu wilayah dalam sebuah daerah dalam
suatu negara; apakah itu pada suatu daerah kecil, negara bagian federal atau provinsi,
atau daerah yang lebih luas. Adapun fungsi
bahasa daerah dalam kaidah tata bahasa Indonesia, yaitu :
1. Bahasa Daerah sebagai pendukung Bahasa
Nasional, Bahasa daerah merupakan bahasa pendukung Bahasa Indonesia yang
keberadaannya diakui oleh Negara. UUD 1945 pada pasal 32 ayat (2) menegaskan
bahwa “Negara menghormati dan memilihara bahasa daerah sebagai kekayaan budaya
Nasional.” Dan juga sesuai dengan perumusan Kongres Bahasa Indonesia II tahun
1954 di Medan, bahwa bahasa daerah sebagai pendukung Bahasa Nasional merupakan
sumber pembinaan Bahasa Indonesia. Sumbangan bahasa daerah kepada Bahasa
Indonesia, antara lain, bidang fonologi, morfologi, sintaksis, semantik, dan
kosa kata. Demikian juga sebaliknya, Bahasa Indonesia mempengaruhi perkembangan
bahasa daerah. Hubungan timbal balik antara Bahasa Indonesia dan bahasa daerah
saling melengkapi dalam perkembangannya.
2.
Bahasa Daerah sebagai bahasa pengantar pada tingkat permulaan sekolah dasar, di
daerah tertentu, bahasa daerah boleh dipakai sebagai bahasa pengantar di dunia
pendidikan tingkat sekolah dasar sampai dengan tahun ketiga (kelas tiga).
Setelah itu, harus menggunakan bahasa Indonesia, kecuali daerah-daerah yang
mayoritas masih menggunakan bahasa daerah sebagai bahasa ibu.
3. Bahasa
Daerah sebagai sumber kebahasaan untuk memperkaya Bahasa Indonesia, seringkali
istilah yang ada di dalam bahasa daerah belum muncul di bahasa indonesia
sehingga bahasa indonesia memasukkannya istilah tersebut , contohnya “ gethuk “
{ makanan dibuat dari ubi dan sejenisnya yang direbus, kemudian dicampur gula
dan kelapa (ditumbuk bersama) } karena di bahasa indonesia istilah tersebut
belum ada , maka istilah “ gethuk “ juga di resmikan di Bahasa Indonesia
sebagai istilah dari “ penganan dibuat dari ubi dan sejenisnya yang direbus,
kemudian dicampur gula dan kelapa (ditumbuk bersama) “.
4. Bahasa Daerah sebagai pelengkap Bahasa
Indonesia di dalam penyelenggaraan pemerintah pada tingkat daerah, dalam
tatanan pemerintah pada tingkat daerah , bahasa daerah menjadi penting dalam
komunikasi antara pemerintah dengan masyarakat yang kebanyakan masih
menggunakan bahasa ibu sehingga dari pemerintah harus menguasai bahasa daerah
tersebut yang kemudian bisa di jadikan pelengkap di dalam penyelenggaraan pemerintah
pada tingkat daerah tersebut.
Bahasa daerah dan Bahasa Indonesia yang digunakan
secara bergantian menjadikan masyarakat Indonesia menjadi dwibahasawan. Menurut
Mackey dan Fishman (Chaer, 2004: 84) kedwibahasaan diartikan sebagai
“…penggunaan dua bahasa oleh penutur dalam pergaulannya dengan orang lain
secara bergantian.”
2.3.1
Pengaruh Positif
a) Memperkaya Kosakata Bahasa Indonesia
Adanya bahasa Minang dan bahasa daerah
yang lain, membuat bahasa Indonesia menjadi kaya dengan kosakata yang diambil
atau diserap dari bahasa Minang. Bahasa Minang juga bahasa daerah-daerah lain
yang ada, cukup banyak berpartisipasi memberikan kata-kata serapan kepada
bahasa Indonesia yang baku.
Contoh:
b) Sebagai Kekayaan Budaya Bangsa
Indonesia
Banyaknya
budaya dan bahasa yang ada di Indonesia, menjadikan Indonesia memiliki berbagai
macam budaya yang berbeda dan sangat banyak, namun dapat bersatu di Indonesia
menjadi kesatuan yang seutuhnya. Keanekaragaman yang sangat banyak tersebut,
memberi kesan yang unik terhadap budaya Indonesia.
Bahasa sebagai alat penyebaran
budaya, karena dengan bahasa masyarakat dapat membawa dan mengajarkan
budaya-budaya yang berasal dari Minang ke daerah lain.
Contoh: pertunjukan Randai dan
saluang
c)
Sebagai identitas dan ciri khas dari suatu suku dan daerah
Dengan
adanya keanekaragaman bahasa, maka akan membentuk Indonesia dari perbedaan yang
sangat jauh berbeda latar belakangnya dan memiliki ciri khas pada daerahnya
masing-masing. Ciri-ciri tersebut dapat dilihat dari dialek dan idioleknya
ketika orang Minang sedang berbicara.
d)
Menimbulkan keakraban dalam berkomunikasi.
Ketika masyarakat pada suatu daerah
berkomunikasi dengan masyrakat yang lainnya, dan pada saat itu mereka sedang
berada di luar daerah, maka akan terjadi keakraban dan kenyamanan dalam
berkomunikasi karena sedang berbicara dengan orang yang berasal satu daerah dan
satu bahasa. Mereka merasa menjadi keluarga besar ketika berada di luar daerah
lingkungan tempat tinggalnya. Berbicara dengan orang yang berasal dari daerah
yang sama akan merasa senasib dan sepenanggungan.
Contoh:
mahasiswa yang berasal dari daerah Sumatera Barat atau keturunan Minamg yang
sedang berkuliah di Universitas yang berada di luar daerah Sumatera Barat dan
berjumpa dengan teman yang berasal dari Sumatera Barat pula, maka akan terasa
lebih akrab apabila menggunakan bahasa Minang dalam berkomunikasi. Begitu juga
dengan suku-suku lain akan terjadi hal yang sama.
2.3.2
Pengaruh Negatif
a)
Bahasa daerah yang satu sulit dipahami oleh daerah lain.
Bahasa daerah di Indonesia sangat
banyak ragam dan jenisnya, maka tidak mungkin masyarakat dapat paham dan
mengerti akan semua bahasa daerah yang ada di Indonesia. Misalnya pada bahasa
Minang, dalam bahasa Minang saja sudah terdapat beberapa tingkatan bahasa yang
sangat jauh berbeda kata-kata dan maknanya, tingkatan tersebut ditentukan oleh
tingkatan usia bagi yang akan berkomunikasi, misalnya dalam percakapan antara
anak remaja dan orang tua, maka bahasa sangat berbeda antara anak remaja dan
orang tua tersebut.
b)
Warga negara asing yang ingin belajar bahasa Indonesia
menjadi kesulitan karena terlalu banyak kosakata.
c) Masyarakat menjadi kurang paham
dalam menggunakan bahasa Indonesia yang baku karena sudah terbiasa menggunakan
bahasa daerah
Dalam kesehariannya masyarakat
sering menggunakan bahasa Minang, maka ketika akan berbahasa Indonesia dengan
baik dan benar, maka masyarakat akan kesulitan karena terpengaruh dari bahasa
Minang yang biasa digunakannya, baik secara lisan maupun secara terulis..
d) Dapat menimbulkan kesalahpahaman.
2.4 Perbedaan Kosa Kata Bahasa
Indonesia dan Bahasa Minang
Kosakata dalam sebuah bahasa adalah rekaman nilai–nilai
budaya dari pemilik bahasa yang bersangkutan. Dalam hal ini adalah bahasa
Minangkabau. Kosakata bahasa Minangkabau ialah rekaman dari nilai – nilai
budaya Minang itu sendiri, dan bahasa Minang merupakan warisan dari leluhur
yang harus dipergunakan dalam komunikasi sehari – hari khususnya orang minang,
Sumatera Barat. Dalam bahasa Minang, memiliki tekanan pada kata yang bersifat
morfemis.
Bahasa Minangkabau adalah bahasa yang tergolong dalam
keluarga Bahasa Austronesia yang dituturkan oleh masyarakat di Pulau Sumatera,
Republik Indonesia khususnya di bahagian Sumatera Barat.
Para ahli bahasa menempatkan Bahasa Minangkabau
sebagai salah satu kelompok Bahasa “Melayu Proto”. Namun demikian Bahasa
Minangkabau menempati kedudukan yang unik sebagaimana dinyatakan oleh Robert
Blust (1988:02) salah seorang ahli bahasa yang meneliti dan melakukan
rekonstruksi cabang-cabang Bahasa Melayu Induk. Beliau meragukan pengelompokkan
bahasa Minangkabau dalam kelompok “Proto Malay” karena bahasa Minangkabau
bersama dengan bahasa Kerinci memiliki karakteristik bunyi yang berbeda (divergent phonological characteristics)
apabila dibandingkan dengan bahasa yang tergabung dalam kelompok Proto Malay
lainnya.
Bahasa yang tergabung dalan Proto Malay ini seperti
bahasa Malaysia dan bahasa Melayu yang digunakan di Kedah, Pahang, Patani,
Terengganu, Urak Luwoi dan Tioman. Sementara di Indonesia, anggota bahasa Proto
Malay termasuk bahasa Indonesia dan beberapa bahasa daerah yang banyak
digunakan sebagai “lingua franca” di
berbagai pelabuhan laut penting Asia Tenggara sebelum kedatangan Bangsa
Portugis pada abad ke-16 seperti: Bahasa Banjar, Serawak, Melayu Brunei, Melayu
Jakarta, Melayu Kupang, Melayu Makasar, Melayu Menado dan Melayu Ambon.
Dari rajah tersebut, Robert Blust menempatkan Bahasa
Minangkabau sebagai bahasa yang memiliki ciri-ciri kebahasaan yang unik yang
lebih tua umurnya dibandingkan dengan Bahasa Indonesia maupun bahasa yang
sekerabat dengannya seperti Melayu Medan, Melayu Jakarta. Sementara itu,
apabila dibandingkan dengan Bahasa Daerah lainnya bahasa Minangkabau relatif
lebih muda karena ketiga bahasa tersebut merupakan cabang atau turunan langsung
bahasa Proto Malay.
Bahasa Minangkabau adalah bahasa yang digunakan oleh
masyarakat Minangkabau yang jumlah penuturnya sekitar 6 juta orang (Gerard
Moussay, 1981: 9). Separuh dari jumlah penutur tersebut tinggal di Provinsi
Sumatera Barat sedangkan selebihnya tinggal di kawasan lain di luar Provinsi
tersebut. Hal ini dimungkinkan karena masyarakat Minangkabau dikenal sebagai
masyarakat yang suka merantau sehingga wilayah penggunaan bahasa Minangkabau
jauh melangkaui batas-batas provinsi.
Ada beberapa faktor yang memengaruhi banyak atau
sedikitnya kosakata bahasa daerah diserap ke dalam bahasa Indonesia, khususnya
ke dalam KBBI, yaitu :
a. kekerapan
penggunaan kosakata bahasa daerah oleh wartawan di media massa;
b. kekerapan
penggunaan kosakata bahasa daerah oleh penulis atau sastrawan dalam
karangannya;
c. kekerapan
penggunaan kosakata bahasa daerah oleh tokoh publik, dan
d. ketersediaan
konsep baru pada kosakata bahasa daerah yang tidak dimiliki oleh bahasa
Indonesia.
Perbandingan Bahasa Minangkabau dan Bahasa Indonesia dalam
hal kosa kata relatif mudah. perubahan tersebut dikenal dengan kosakata Swadesh.
Berdasarkan Kamus Bahasa Proto Austronesia Purba yang disusun oleh Otto Dempwolff
(1937). Kosakata tersebut meliputi: nama-nama tubuh badan, bilangan (numeral),
alam sekitar yang umum dan lain sebagainya.
Contoh kosa
kata dalam kata bilangan sederhana
BAHASA MINANGKABAU
|
BAHASA
INDONESIA
|
Ciek
|
Satu
|
Duo
|
Dua
|
Tigo
|
Tiga
|
Ampek
|
Empat
|
Limo
|
Lima
|
Anam
|
Enam
|
Tujuah
|
Tujuh
|
Lapan
|
Delapan
|
Sambilan
|
Sembilan
|
Sapuluah
|
Sepuluh
|
Dari contoh kata bilangan di atas dapat dilihat
perubahan fonologis antara Bahasa Minangkabau dengan Bahasa Indonesia yaitu
sebagai berikut:
Kata bilangan ”satu” dalam bahasa Minangkabau adalah “ciek” sedangkan dalam bahasa Indonesia disebut dengan “satu”. Sedangkan kata bilangan “empat” dalam bahasa Minangkabau adalah “ampek” sedangkan dalam bahasa Indonesia disebut “empat”.
Kata bilangan ”satu” dalam bahasa Minangkabau adalah “ciek” sedangkan dalam bahasa Indonesia disebut dengan “satu”. Sedangkan kata bilangan “empat” dalam bahasa Minangkabau adalah “ampek” sedangkan dalam bahasa Indonesia disebut “empat”.
Dalam Bahasa Minangkabau fonem /a/ direalisasi sebagai
sebuah vokal tengah, rendah. Seperti halnya vokal yang lain, fonem /a/ hanya
dapat muncul pada posisi tengah dan akhir. Pada posisi awal, fonem itu selalu
didahului oleh hentakan anak tekak, meskipun dalam ejaan tidak ditulis. Seperti
dalam contoh kata “ampek” yang dapat ditranskripsikan secara fonologis seperti:
ampe .
Ternyata perubahan bunyi tidak langsung berakhir
melainkan mengalami proses perubahan dimana antar bunyi /a/ dan /p/ terjadi
asimilasi menjadi am sehingga terbentuk kata “ampek”. Pola perubahan yang sama
dengan contoh kata “empat” juga berlaku pada contoh kata bilangan “enam” dalam
bahasa Minangkabau dimana kata “anam” berubah menjadi “enam” dalam bahasa Indonesia.
Terlihat bahwa bunyi vokal /a/ pada awal kata dalam Bahasa Minangkabau berubah
menjadi vocal /e/ dalam Bahasa Indonesia.
Gambaran perubahan dari bahasa Minangkabau kepada
bahasa Indonesia sebagaimana berikut ini: Kata bilangan “sepuluh” dalam bahasa
Minangkabau adalah “sapuluah” sedangkan dalam bahasa Indonesia disebut dengan
“sepuluh”. Kata bilangan “sepuluh” dalam bahasa Minangkabau merupakan salah
satu contoh berlakunya luncuran vokalis karena kelima bunyi vokal yang terdapat
dalam bahasa Minangkabau terkadang memperlihatkan suatu luncuran, apabila
terletak di muka konsonan tertentu. Dalam contoh kosa kata “sapuluah” ini,
bunyi luncuran vokalis /e:/ terjadi setelah fonem vokalis /l u/ dimuka fonem
konsonantis /h/ sehingga kata tersebut dapat ditranskripsikan menjadi /sapulue:h/.
Berbeda dengan bahasa Minangkabau, bahasa Indonesia tidak mengekalkan
penggunaan bunyi luncuran vokalis karena dalam Bahasa Indonesia hanya mengenal
penggunaan diftong kontras.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Bahasa
adalah sistem lambang bunyi yang arbitrer, yang digunakan oleh anggota suatu
masyarakat untuk bekerja sama, berinteraksi dan mengidentifikasikan diri.
Indonesia memiliki keragaman bahasa dan dialek yang luar biasa. Ada lebih dari
ratusan bahasa dan dialek yang tersebar di seluruh pulau nusantara, salah
satunya adalah Bahasa Minang.
Pada
hakikatnya bahasa mempunyai dan diatur oleh suatu sistem, bukan suatu yang
berserakan tanpa aturan. Bahasa merupakan sistem lambang, sistem bunyi,
mempunyai makna, bersifat konvensional, produktif, unik, universal, bervariasi
dan sarana pengidentifikasian diri.
Bahasa
Minang sangat berpengaruh besar terhadap masyarakat Minang. Khususnya dalam
menggunakan dan mengucapkan bahasa Indonesia dengan baik dan benar. Salah satu
dampak negatifnya adalah ketika masyarakat yang terbiasa menggunakan Bahasa
Minang, maka ketika menggunakan bahasa Indonesia yang baku, banyak kesalahan
dalam pengucapan kata-kata yang ada pada bahasa Indonesia itu sendiri.
Sedangkan dampak positifnya adalah bangsa Indonesia tetap memiliki karakter
yang berasal dari kearifan daerah masing-masing. Sama halnya seperti Bahasa
Minang, para penutur asli tetap mempertahankannya, karena di sanalah terdapat
identitas dan karakter sebuah masyarakat.
Berdasarkan
pengamatan yang dilakukan, mahasiswa yang berasal dari Sumatera Barat dan
masyarakat yang lingkungan tempat tinggalnya mayoritas adalah penutur Bahasa
Minang asli. Maka terdapat beberapa fakta yang berpengaruh besar terhadap
penggunaan bahasa Indonesia, dan salah satu hal yang signifikan kesalahannya
terletak pada penuturan atau pengucapannya.
Daftar Pustaka
Arifin, E.
Zaenal. 2008. Cermat Berbahasa Indonesia
(Bahasa Melayu Diangkat menjadi Bahasa Indonesia). Jakarta: Akademika Pressindo.
Badudu, J.S.
1986. Inilah bahasa indonesia yang benar
II. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama
Keraf,
Gorys. 1984. Linguistik Umum. Jakarta:
Rineka Cipta.
Muslich,
masnur. 2010. Bahasa Indonesia Pada Era
Globalisasi. Jakarta: Bumi Aksara.
Rahman,
Abdul. 1996. Kiat Belajar Logat
Minangkabau, Bukittinggi: CV Pustaka Indonesia.
Sistempemerintahan-indonesia.blogspot.com
Surhelan dan
Odien R. 2004. Ihwal Ilmu Bahasa dan
Cakupannya Pengantar Memahami Linguistik. Serang Banten: FKIP Untirta
Press.
Taringan,
Hendri Guntur. 1995. Pengajaran Analisis
Kesalahan Berbahasa. Bandung: Angkasa Bandung.